Korban Dugaan Praktik Mafia Tanah didampangi Kuasa Hukum Didik Pramono Akhirnya Melaporkan Ke Polisi

Berita, Hukum, Pekalongan409 Dilihat

Korban Warsiti (69) didampingi kuasa hukumnya, Didik Pramono S.H, Selasa (18/2).

PEMBURUNEWS.COM, PEKALONGAN – Kuasa hukum pasangan lansia Warsiti dan Nur Sa’id (73) warga Desa Tangkil Kulon, Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan yang menjadi korban dugaan praktik mafia tanah akhirnya melaporkan beberapa pihak yang terlibat dalam penjualan tanah tidak sah ke polisi. Pelaporan dilakukan setelah upaya mediasi gagal mencapai kesepakatan.

“Hari ini kami selaku kuasa hukum terpaksa melaporkan kasus yang dialami klien kami ke polisi,” ujar Didik Pramono melalui sambungan telepon, Selasa 18 Februari 2025.

Ia menyebut ada tiga orang yang dilaporkan ke polisi yakni kepala desa, perangkat desa dan seorang warga. Ketiganya diduga terlibat persekongkolan jahat yang menyebabkan kliennya kehilangan tanah dengan cara melanggar hukum.

Pihaknya sebelumnya juga sudah menempuh cara kekeluargaan bahkan mediasi namun justru dipersulit dalam proses pengembalian hak korban berupa tanah yang dijaminkan namun belakangan dijual tanpa sepengetahuan pemilik yang sah.

“Kami laporkan tiga kasus sekaligus yakni pemalsuan dokumen tanah, penyalahgunaan wewenang dan perusakan barang,” terangnya.

Didik menjelaskan laporan penyalahgunaan kekuasan oleh terduga kepala desa dalam kasus ini didasari alasan sebagai pimpinan tidak memberikan memberikan keadilan bagi korban malah justru mengambil kesempatan untuk keuntungan baik diri sendiri maupun orang lain.

Kemudian pemalsuan dokumen tanah berupa Letter C milik korban selaku ahli waris sekaligus anak tunggal dari almarhum Waryumi yang berpindah tangan atau kepemilikan menjadi atas nama orang lain tanpa melalui proses yang sah menurut hukum.

Lalu kasus perusakan barang berupa pohon dan tanaman buah lainnya yang tumbuh di atas tanah milik korban ditebangi tanpa izin pemilik yang sah untuk keuntungan pihak lain atau pelaku.

“Jadi ini kami laporkan sekaligus dengan pasal yang berlapis agar hak korban bisa dikembalikan seperti semula, adapun persoalan itu diawali dengan utang piutang harusnya ada mekanisme penyelesaian yang saling menguntungkan atau minimal kedua belah tidak saling rugi akan tetapi ini malah dijadikan kesempatan untuk mematikan orang lain,” jelasnya.

Sebelumnya diberitakan pasangan lanjut usia di Pekalongan mengaku terancam kehilangan tanah gegara uang tiga ribu rupiah. Warga miskin Desa Tangkil Kulon, Kecamatan Kedungwuni tersebut telah berusaha menyelesaikan persoalan malah tanah miliknya sudah berpindah kepemilikan.

“Saya tidak pernah merasa menjual, tapi kebun malah dijual sepihak tanpa persetujuan dan tandatangan saya,” ujar Warsini (69) kepada pantura24.com di rumahnya, Minggu 2 Februari 2025.

Di dampingi suaminya yang menderita stroke menahun, Warsini mengungkap peristiwa yang dialami keluarganya bermula dari urusan utang dengan tetangga satu desanya. Warsini berutang Rp 3000 menjaminkan kebun seluas 166 meter persegi.

“Jadi saat itu tahun 80-an tapi lupa pastinya, saya pinjam uang ke warga yang masih satu desa dengan jaminan tanah atau kebun yang berlokasi di pinggir jalan desa untuk pengobatan suami yang sakit,” buka Warsini.

Pada saat uang diterima itu dirinya pernah berpesan kebun yang berisi pohon besar, pisang dan pohon buah lainnya boleh dipetik dengan tujuan agar suami yang sedang sakit sembuh dan kembali bekerja dulu baru bisa mengembalikan utangnya.

Belakangan ketika suami sehat dan bisa berjalan meski masih lumpuh separuh badannya karena stroke bermaksud menebus kembali kebun yang dijaminkan namun justru ditolak dan upaya ke pihak desa juga diabaikan.

“Oleh pihak desa saya malah diminta mengumpulkan atau menghadirkan yang bersangkutan di balai desa. Akan tetapi saya yang menjadi korban justru tidak diajak bicara,” keluhnya.

Dirinya baru mengetahui kalau kebun miliknya telah dijual ke perangkat desa oleh anak dari yang meminjami uang dan diduga juga atas peran dari kepala desa yang saat itu menjabat sesuai dengan keterangan pembeli tanah.

“Di balai desa saya hanya bisa menangis niatnya mau menyelesaikan masalah justru diabaikan malah tanah dijual murah Rp 56 juta,” beber Warsini sembab.

Ia awalnya tidak ingin mempermasalahkan siapapun asal kebun miliknya bisa kembali dan membayar utang yang disesuaikan dengan nilai uang sekarang atau pantas agar persoalan selesai namun justru malah menemui masalah.

“Saya orang miskin punya tanah satu-satunya dari warisan orang tua dijual orang, saya tidak paham hukum dan tidak ada yang membela nasib saya. Akhirnya saya dibantu pengacara gratis,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *